sinemata

( Setelah tiga puluh hari kita menumpaskan wabak di luar sana dari dalam rumah sendiri. ) Cemetery of Splendour (2015) bikinan Apichatpong Weerasethakul. JIKA ada apa-apa yang boleh saya pegang dari waktu menuntut di sekolah perubatan dahulu (tidak selesai) tidak lain hanyalah ingatan kepada kelas anatomi. Kelas yang paling saya gemari. Kelas di mana setiap kumpulan berempat (betapa akrabnya angka ini dengan kematian) diberi sekujur tubuh untuk diteliti sehabis-habisnya dari kulit ke tulang - sehingga lunyai. Kelas di mana kami yang berjiwa curiga berjam-jam mahu terus berdamping tanpa jemu - dan tanpa takut - dengan dia . Di mana kami mengenal tubuh orang lain melebihi tubuh sendiri. Suatu kontradiksi sepertimana saat ini kita riuh melawan wabak yang senyap di luar sana dari dalam kediaman sendiri. Seolah saya memilih untuk bertindak dengan tidak melakukan apa-apa. Tetapi benarkah saya tidak buat apa-apa? Untuk seorang yang sepanjang waktu di tapak pembinaan, mempersiap tubu

BOLEHKAH karya seni bernafas di luar galeri: ya dan tidak. Saya baru sahaja pulang dari sebuah pameran di Rumah AQL . Terus terang saya katakan, saya tidak berasa apa-apa. Menjadi perjalanan kosong di sekitar sarat imej seni. Yang sepatutnya - saya lebih rela - mengikuti perjalanan padat kalaupun berlegar di ruang kosong. Saya teringat akan narator dalam The Illogic of Kassel tulisan Enrique Vila-Matas, di mana sebaik sahaja melangkah masuk ke dalam sebuah ruang kosong yang sepatutnya mempamer kerja-kerja seni: "Faced with such emptying out I couldn't help but remember the Sunday morning a few years back now when they open the newly built museum of contemporary art in Barcelona (the MACBA) to the public with evident haste; they threw it open  to the citizens, but without pictures, not a single painting or sculpture, nothing inside it. The people of Barcelona wandered through the museum admiring the white walls, the solidity of the construction, and other architectural de